Kamis, 03 Februari 2011

2 Es Teh dan 3 Gorengan = Rp 8.500


3 Februari 2011. Saat liburan Imlek.

Jam setengah sepuluh pagi lewat………….

Pagi menjelang siang itu Supra Fit ku dan Smash milik kawanku Bryan meluncur ke arah Wonorejo. Saat itu kami memang berencana menuju ke sebuah tempat wisata yang masih terbilang baru, yaitu wisata ekosistem hutan mangrove di Wonorejo.

Aku berboncengan dengan Yudi, adik kelasku di FISIP. Sekitar setengah jam setelah berangkat dari rumah, akhirnya kami sampai di depan gerbang tempat wisata itu. Ternyata di luar perkiraan kami, jarak antara pintu gerbang dengan tempat yang sesungguhnya masih sekitar 15 menitan. Ya, hanya 15 menit, karena jalannya rusak parah, sehingga harus ekstra hati-hati untuk melewatinya kalau tidak ingin motor kalian rusak. Kalo jalannya halus, sehalus jalan tol, mungkin hanya sekitar 5 menit saja. Kami pun berfantasi sebagai seorang pembalap offroad, di jalanan yang hancur itu.

Setelah kurang 15 menit akhirnya sampailah kita di tempat yang dituju. Sebuah tempat wisata yang gratis, tanpa ada tiket masuk. Hanya ongkos parkir bagi yang membawa kendaraan bermotor, seribu rupiah untuk motor, dan mungkin dua ribu untuk mobil (aku tidak tahu persis berapa tarifnya, karena aku kesana ndak naik mobil).

Sempat mengewecewakan,karena pemandangan di situ jauh dari perkiraan. Yang ada hanyalah beberapa penjual makanan, dan sebuah dermaga kecil tempat orang untuk menyewakan perahu seharga 25 ribu per kepala dewasa dan 15 ribu per kepala anak-anak.

Kami bertiga pun duduk sejenak, seolah-olah ingin menikmati kekecewaan. Bahkan dua kawanku mulai menyalahkan aku, karena mengajak mereka ke tempat yang g asyiik sama sekali. Namun atas inisiatif Bryan, kami pun mencoba berjalan-jalan di sekitar tempat itu sambil mencari sebuah tempat, yang setidaknya bisa “mengobati” kekecewaan itu. Maka hal itu terbayar dengan menemukan sebuah jalur “jogging track” dari deretan papan, yang justru dimanfaatkan oleh pengunjung sebagai tempat memancing dan sebagian ada yang foto pre wed.

Kami menelusuri jogging track itu, “lumayan” lah bisa melihat pinggiran kali keruh itu dari dekat dengan dibatasi tanaman mangrove. Lumayan setidaknya bisa sedikit menghilangkan penat dan kelelahan kami selama ini. Sedikit berfoto-foto seolah-olah menjadi agenda yang cukup penting bagi “orang tidak jelas” seperti kami. Ya sepertinya hanya ber foto-foto itulah yang jadi kegiatan utama kami, selain memandangi hamparan hijau mangrove dan kali keruh itu.

Sekitar 45 menit kami puas menyusuri jogging track itu. Kami pun mampir ke sebuah warung kecil di sekitar tempat itu. Tanpa basa-basi aku pun langsung pesen minuman es teh satu gelas dan mengambil satu gorengan tahu isi yang dijajakan di meja warung itu, lalu kuolesi dengan petis. Bryan pun juga memesan es teh satu gelas dan mengambil tahu isi satu saja, dan memperlakukan tahu isi itu sama dengan diriku, mengolesinya dengan petis sebagai prasyarat untuk dieksekusi di dalam mulutnya. Hanya Yudi yang tidak berminat menikmati makan dan minum di tempat itu, karena ndak level,uppssss salah, maksudnya lagi puasa senin kamis.

Sekitar 15 menit kami di warung itu, terasa matahari mulai menyengat, karena hari sudah mulai menjelang dhuhur. Sebagai penutup, aku pun mengambil ote-ote dan mengolesinya dengan petis, dan melakukan adegan yang sama seperti saat melumat tahu isi tadi. Habis sudah ote-ote itu aku lumat. Kami pun akan segera pulang. Dan aku pun bertanya pada sang ibu penjual, “pinten sedoyo bu? es teh kale, tahu isi kale, ote-ote setunggal” (berapa semuanya bu?es teh dua, tahu isi dua, ote-ote satu. Dengan gayanya seperti seorang professor yang akan memecahkan sebuah kebuntuan dalam rumus tertentu di kepalanya, maka dengan lambat-lambat ibu itu menjawab, “Wolongewu limangatus mas” (Delapan ribu lima ratus mas). Dan kontan saja kami semua berpandangan, sambil tertawa lepas, namun benar-benar ada rasa tertekan dan penderitaan dalam tertawa kami yang bersama-bersama itu…….

2 Es Teh dan 3 Gorengan = Rp 8.500


3 Februari 2011. Saat liburan Imlek.

Jam setengah sepuluh pagi lewat………….

Pagi menjelang siang itu Supra Fit ku dan Smash milik kawanku Bryan meluncur ke arah Wonorejo. Saat itu kami memang berencana menuju ke sebuah tempat wisata yang masih terbilang baru, yaitu wisata ekosistem hutan mangrove di Wonorejo.

Aku berboncengan dengan Yudi, adik kelasku di FISIP. Sekitar setengah jam setelah berangkat dari rumah, akhirnya kami sampai di depan gerbang tempat wisata itu. Ternyata di luar perkiraan kami, jarak antara pintu gerbang dengan tempat yang sesungguhnya masih sekitar 15 menitan. Ya, hanya 15 menit, karena jalannya rusak parah, sehingga harus ekstra hati-hati untuk melewatinya kalau tidak ingin motor kalian rusak. Kalo jalannya halus, sehalus jalan tol, mungkin hanya sekitar 5 menit saja. Kami pun berfantasi sebagai seorang pembalap offroad, di jalanan yang hancur itu.

Setelah kurang 15 menit akhirnya sampailah kita di tempat yang dituju. Sebuah tempat wisata yang gratis, tanpa ada tiket masuk. Hanya ongkos parkir bagi yang membawa kendaraan bermotor, seribu rupiah untuk motor, dan mungkin dua ribu untuk mobil (aku tidak tahu persis berapa tarifnya, karena aku kesana ndak naik mobil).

Sempat mengewecewakan,karena pemandangan di situ jauh dari perkiraan. Yang ada hanyalah beberapa penjual makanan, dan sebuah dermaga kecil tempat orang untuk menyewakan perahu seharga 25 ribu per kepala dewasa dan 15 ribu per kepala anak-anak.

Kami bertiga pun duduk sejenak, seolah-olah ingin menikmati kekecewaan. Bahkan dua kawanku mulai menyalahkan aku, karena mengajak mereka ke tempat yang g asyiik sama sekali. Namun atas inisiatif Bryan, kami pun mencoba berjalan-jalan di sekitar tempat itu sambil mencari sebuah tempat, yang setidaknya bisa “mengobati” kekecewaan itu. Maka hal itu terbayar dengan menemukan sebuah jalur “jogging track” dari deretan papan, yang justru dimanfaatkan oleh pengunjung sebagai tempat memancing dan sebagian ada yang foto pre wed.

Kami menelusuri jogging track itu, “lumayan” lah bisa melihat pinggiran kali keruh itu dari dekat dengan dibatasi tanaman mangrove. Lumayan setidaknya bisa sedikit menghilangkan penat dan kelelahan kami selama ini. Sedikit berfoto-foto seolah-olah menjadi agenda yang cukup penting bagi “orang tidak jelas” seperti kami. Ya sepertinya hanya ber foto-foto itulah yang jadi kegiatan utama kami, selain memandangi hamparan hijau mangrove dan kali keruh itu.

Sekitar 45 menit kami puas menyusuri jogging track itu. Kami pun mampir ke sebuah warung kecil di sekitar tempat itu. Tanpa basa-basi aku pun langsung pesen minuman es teh satu gelas dan mengambil satu gorengan tahu isi yang dijajakan di meja warung itu, lalu kuolesi dengan petis. Bryan pun juga memesan es teh satu gelas dan mengambil tahu isi satu saja, dan memperlakukan tahu isi itu sama dengan diriku, mengolesinya dengan petis sebagai prasyarat untuk dieksekusi di dalam mulutnya. Hanya Yudi yang tidak berminat menikmati makan dan minum di tempat itu, karena ndak level,uppssss salah, maksudnya lagi puasa senin kamis.

Sekitar 15 menit kami di warung itu, terasa matahari mulai menyengat, karena hari sudah mulai menjelang dhuhur. Sebagai penutup, aku pun mengambil ote-ote dan mengolesinya dengan petis, dan melakukan adegan yang sama seperti saat melumat tahu isi tadi. Habis sudah ote-ote itu aku lumat. Kami pun akan segera pulang. Dan aku pun bertanya pada sang ibu penjual, “pinten sedoyo bu? es teh kale, tahu isi kale, ote-ote setunggal” (berapa semuanya bu?es teh dua, tahu isi dua, ote-ote satu. Dengan gayanya seperti seorang professor yang akan memecahkan sebuah kebuntuan dalam rumus tertentu di kepalanya, maka dengan lambat-lambat ibu itu menjawab, “Wolongewu limangatus mas” (Delapan ribu lima ratus mas). Dan kontan saja kami semua berpandangan, sambil tertawa lepas, namun benar-benar ada rasa tertekan dan penderitaan dalam tertawa kami yang bersama-bersama itu…….

2 Es Teh dan 3 Gorengan = Rp 8.500


3 Februari 2011. Saat liburan Imlek.

Jam setengah sepuluh pagi lewat………….

Pagi menjelang siang itu Supra Fit ku dan Smash milik kawanku Bryan meluncur ke arah Wonorejo. Saat itu kami memang berencana menuju ke sebuah tempat wisata yang masih terbilang baru, yaitu wisata ekosistem hutan mangrove di Wonorejo.

Aku berboncengan dengan Yudi, adik kelasku di FISIP. Sekitar setengah jam setelah berangkat dari rumah, akhirnya kami sampai di depan gerbang tempat wisata itu. Ternyata di luar perkiraan kami, jarak antara pintu gerbang dengan tempat yang sesungguhnya masih sekitar 15 menitan. Ya, hanya 15 menit, karena jalannya rusak parah, sehingga harus ekstra hati-hati untuk melewatinya kalau tidak ingin motor kalian rusak. Kalo jalannya halus, sehalus jalan tol, mungkin hanya sekitar 5 menit saja. Kami pun berfantasi sebagai seorang pembalap offroad, di jalanan yang hancur itu.

Setelah kurang 15 menit akhirnya sampailah kita di tempat yang dituju. Sebuah tempat wisata yang gratis, tanpa ada tiket masuk. Hanya ongkos parkir bagi yang membawa kendaraan bermotor, seribu rupiah untuk motor, dan mungkin dua ribu untuk mobil (aku tidak tahu persis berapa tarifnya, karena aku kesana ndak naik mobil).

Sempat mengewecewakan,karena pemandangan di situ jauh dari perkiraan. Yang ada hanyalah beberapa penjual makanan, dan sebuah dermaga kecil tempat orang untuk menyewakan perahu seharga 25 ribu per kepala dewasa dan 15 ribu per kepala anak-anak.

Kami bertiga pun duduk sejenak, seolah-olah ingin menikmati kekecewaan. Bahkan dua kawanku mulai menyalahkan aku, karena mengajak mereka ke tempat yang g asyiik sama sekali. Namun atas inisiatif Bryan, kami pun mencoba berjalan-jalan di sekitar tempat itu sambil mencari sebuah tempat, yang setidaknya bisa “mengobati” kekecewaan itu. Maka hal itu terbayar dengan menemukan sebuah jalur “jogging track” dari deretan papan, yang justru dimanfaatkan oleh pengunjung sebagai tempat memancing dan sebagian ada yang foto pre wed.

Kami menelusuri jogging track itu, “lumayan” lah bisa melihat pinggiran kali keruh itu dari dekat dengan dibatasi tanaman mangrove. Lumayan setidaknya bisa sedikit menghilangkan penat dan kelelahan kami selama ini. Sedikit berfoto-foto seolah-olah menjadi agenda yang cukup penting bagi “orang tidak jelas” seperti kami. Ya sepertinya hanya ber foto-foto itulah yang jadi kegiatan utama kami, selain memandangi hamparan hijau mangrove dan kali keruh itu.

Sekitar 45 menit kami puas menyusuri jogging track itu. Kami pun mampir ke sebuah warung kecil di sekitar tempat itu. Tanpa basa-basi aku pun langsung pesen minuman es teh satu gelas dan mengambil satu gorengan tahu isi yang dijajakan di meja warung itu, lalu kuolesi dengan petis. Bryan pun juga memesan es teh satu gelas dan mengambil tahu isi satu saja, dan memperlakukan tahu isi itu sama dengan diriku, mengolesinya dengan petis sebagai prasyarat untuk dieksekusi di dalam mulutnya. Hanya Yudi yang tidak berminat menikmati makan dan minum di tempat itu, karena ndak level,uppssss salah, maksudnya lagi puasa senin kamis.

Sekitar 15 menit kami di warung itu, terasa matahari mulai menyengat, karena hari sudah mulai menjelang dhuhur. Sebagai penutup, aku pun mengambil ote-ote dan mengolesinya dengan petis, dan melakukan adegan yang sama seperti saat melumat tahu isi tadi. Habis sudah ote-ote itu aku lumat. Kami pun akan segera pulang. Dan aku pun bertanya pada sang ibu penjual, “pinten sedoyo bu? es teh kale, tahu isi kale, ote-ote setunggal” (berapa semuanya bu?es teh dua, tahu isi dua, ote-ote satu. Dengan gayanya seperti seorang professor yang akan memecahkan sebuah kebuntuan dalam rumus tertentu di kepalanya, maka dengan lambat-lambat ibu itu menjawab, “Wolongewu limangatus mas” (Delapan ribu lima ratus mas). Dan kontan saja kami semua berpandangan, sambil tertawa lepas, namun benar-benar ada rasa tertekan dan penderitaan dalam tertawa kami yang bersama-bersama itu…….